Rabu, 09 Maret 2011

PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA


A.          Dinamika Aktualitas ( Pancasila Sebagai Dasar Negara)
1.            Lahirnya Pancasila
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti tepat di tengah.
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesiamengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
Pancasila sebagai dasar Negara RI lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (Dokuritzu Zyunbi Tyoosa Kay). BPUPKI itu adalah badan bentukan Penjajah Jepang yang waktu itu sudah semakin kuwalahan menghadapi tekanan kekuatan Sekutu. Sidang BPUPKI itu membahas tentang dasar Negara RI. Ketua sidang, Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat memulai sidang dengan melontarkan pertanyaan, ”Di atas dasar apa Negara Indonesia merdeka nanti didirikan?” Selama sidang itu, beberapa tokoh menyampaikan orasi mengenai dasar Negara. Mereka adalah Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Mr Supomo, Liem Koen Hian, dan Ir. Soekarno.
Pada sidang hari ketiga, 1 Juni 1945, Ir Soekarno tampil dengan gagasannya yang diberinya nama PANCASILA. Semua anggota sidang menyambut dan memberi tepukan tangan. Ketua sidang, Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat menegaskan bahwa respon seluruh sidang itu menjadi peneguhan bahwa Pancasila telah disetujui oleh segenap anggota sidang BPUPKI sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka.

2.            Sejarah Dinamika Pancasila
Ternyata sampai diresmikannya Pancasila sebagai dasar Negara setelah Proklamasi RI 17 Agustus 1945 dan sampai beberapa tahun kemudian bahkan sampai sekarang, Pancasila mengalami dinamika yang luar biasa. Berikut adalah ulasan yang sangat gamblang dari Prof. Faisal Ismail, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Dubes RI di Kuwait tentang dinamika Pancasila itu dalam artikel opininya yang dimuat di harian KR 7 Mei 2009).
Dalam sidang BPUPKI, dasar Negara dibahas oleh Panitia Kecil (Panitia 9) yang di dalamnya terdapat dua kubu.
·      Kubu Nasionalis Netral Agama (Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo, A. A. Maramis, Muhammad Yamin).
·      Kubu Nasionalis Muslim (Kahar Muzakkir, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Wahid Hasyim)
Pada 1 Juni 1945, Soekarno dengan dukungan kubu nasionalis netral agama mengusulkan Pancasila di sidang BPUPKI.  Di sisi lain, kubu nasionalis Muslim mengusulkan Islam sebagai dasar negara.Lalu terjadi kompromi politik antara ”nasionalis netral agama” dengan ”nasionalis Muslim” sehingga pada 22 Juni 1945 disepakati PIAGAM JAKARTA yang isinya:
·      Menerima Pancasila
·      Sila Ketuhanan diletakkan pada sila ke-5
·      Ada modifikasi sila Ketuhanan menjadi ”KETUHANAN YANG MAHA ESA DENGAN KEWAJIBAN MENJALANKAN SYARIAT ISLAM BAGI PEMELUKNYA” (+ 7 kata)
Namun pada 17 Agustus 1945 malam terjadi perubahan
·      Menurut Hatta, seorang opsir angkatan laut Jepang menemuinya dan menyampaikan aspirasi masyarakat Kristiani di INDONESIA TIMUR bahwa mereka tidak akan bergabung dengan NKRI jika 7 kata itu tetap dicantumkan
·      Lalu 7 kata itu ditiadakan setelah Muhammad Hata (Wapres) bebicara dengan beberapa tokoh (seperti Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hasan, dll)
Masalah dasar negara Pancasila kembali diperdebatkan dalam Sidang Konstituante (1956-1959) yang merupakan sidang khusus untuk membentuk UUD baru yang dimaksudkan untuk mengganti UUD 1945. Jalannya sidang sangat alot dengan adanya 3 tawaran tentang dasar negara:
·      Pihak ”nasionalis netral agama” ingin pertahankan PANCASILA
·      Pihak ”nasionalis Muslim” ingin DASAR ISLAM
·      Partai Murba mengusulkan DASAR SOSIAL-EKONOMI
Karena perbedaan pendapat yang tiada henti maka diadakan voting mengenai ”KEMBALI KE UUD 45” (dimana PANCASILA adalah dasar negara) dengan hasil sebagai berikut:
·      Voting pada 30 Mei 1959: Setuju kembali ke Pancasila dan UUD 45 = 269 suara, tidak setuju = 99 suara
·      Voting pada 1 Juni 1959: Setuju kembali ke Pancasila dan UUD 45 = 264 suara, tidak setuju = 204 suara
·      Voting pada 2 Juni 1959: Setuju kembali ke Pancasila dan UUD 45 = 263 suara, tidak setuju = 203 suara
Meskipun lebih banyak suara setuju kembali ke Pancasila dan UUD 45, baik pihak ”nasionalis netral agama” maupun ”nasionalis Muslim” tidak ada yang menang karena tidak mencapai 2/3 suara  (312 suara) yang dipersyaratkan. Kondisi deadlock di atas membahayakan negara dan bangsa. Maka secara konstitusional, Presiden Soekarno mengeluarkan DEKRIT 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 (dimana PANCASILA adalah dasar negara).
Prof Faisal Ismail menarik kesimpulan sebagai berikut:
·      Pembentukan Pancasila bersifat normal dan prosedural karena formulasi Pancasila itu telah disepakati dalam Panitia 9 BPUPKI (institusi resmi yang diberi kewenangan untuk memformulasikan dasar negara)
·      Pancasila tidak pernah dicabut
o    Sejak mulai sidang Konstituante pada 10 Nov 1956 sampai Dekrit 5 Juli 1959 tidak ada pencabutan resmi Pancasila sebagai dasar negara
o  Yang terjadi adalah sidang untuk menyusun UUD baru yang menggantikan UUD 45 dan kemudian mengalami deadlock ketika membahas masalah dasar negara
·      Pancasila bersifat final dan mengikat karena pada founding fathers (baik wakil-wakil nasionalis netral agama maupun nasionalis muslim) dalam sidang BPUPKI sudah menerima Pancasila sebagai dasar falsafah negara.

PANCASILA = JATI DIRI BANGSA
Meskipun diusulkan Soekarno dengan dukungan kubu ”nasionalis netral agama”, pada dasarnya Pancasila bukan karya (ide) seseorang. Menurut Kaelan dalam”Filsafat Pancasila” (2002), Pancasila sudah ada dalam kebudayaan Indonesia sejak lama, artinya nilai-nilai Pancasila itu sudah terkandung dalam adat istiadat, norma, nilai, sistem kepercayaan yang ada di Indonesia. Jadi, Pancasila merupakan ”kenyataan obyektif” dan ”jati diri” bangsa Indonesia. Contoh:
·      Sejak dulu orang Indonesia percaya kepada Tuhan: Tiap suku dan agama menyembah Tuhan dengan sebutan masing-masing: Jawa (Sang Hyang), Batak (Debata Mulajadi Nabolon)
·      Sejak dulu sudah ada cita-cita persatuan: jaman Majapahit (Bhinneka T Ika)
·      Sejak dulu sudah ada cita kerakyatan: gotong royong, masohi, siadapari

PANCASILA = FILSAFAT DAN IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA
            Pancasila harus dipahami sebagai filsafat dan ideologi bangsa dan negara (Kaelan, ”Filsafat Pancasila”, 2002). Pada dasarnya, ideologi adalah sistem ide-ide (system of thougt) atau “science of thought” yang merupakan ”konsep operasionalisasi” dari sebuah Filsafat. Sedangkan filsafar itu sendiri pada prinsipnya merupakan keyakinan-keyakinan atau kebenaran yang diyakini (belief system). Filsafat merupakan dasar dan sumber dalam merumuskan ideologi.
Sebagai ideologi, Pancasila menjadi dasar pembentukan:
·      Norma-norma negara, yaitu hukum (PEMBUKAAN UUD 45, UUD 45, UU, PP, dll)
·      Perilaku berbangsa dan bernegara (praktek bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, ekonomi, sosial, politik, budaya, dst, dan perilaku masyarakat yang diatur oleh hukum)
Jika Pancasila merupakan Dasar Filsafat (philosofische gronslag), menurut Kaelan (2002), konsekuensinya adalah sebagai berikut:
·      Pancasila harus menjiwai seluruh aspek penyelenggaraan negara
·      Pancasila merupakan azas mutlak dari tertib hukum di Republik Indonesia
·      Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Republik Indonesia

FILSAFAT PANCASILA
Berikut adalah pandangan mendasar yang sangat penting sebagaimana disampaikan Kaelan dalam buku “Filsafat Pancasila” (2002) tentang Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat.
·      Setiap sila Pancasila merupakan sebuah sistem fiksafat sendiri
o  Sila 1 = Filsafat tentang Tuhan
o  Sila 2 = Filsafat tentang Manusia
o  Sila 3 = Filsafat tentang Negara
o  Sila 4 = Filsafat tentang Rakyat
o  Sila 5 = Filsafat tentang Keadilan
·      Pancasila sebagai satu sistem filsafat yang utuh, artinya antara sila yang satu dengan sila yang lain berhubungan à hubungan itu bersifat hirarkis piramidal, maksudnya:
® Sila 1 meliputi dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5
§  Tuhan merupakan sebab pertama/asal segala sesuatu (kausa prima). Tuhanlah yang menyebabkan adanya manusia, negara, rakyat, dan keadilan. Maka sila 1 menjiwai sila 2, 3, 4, 5
® Sila 2 diliputi dan dijiwai oleh sila 1 dan meliputi dan menjiwai sila 3, 4, 5
§  Yang bersatu (sila 3) adalah “manusia-manusia”-Nya
§  Negara (sila 4) adalah “lembaga kemanusiaan”
§  Keadilan (sila 5) adalah keadilan yang manusiawi
® Sila 3 diliputi dan dijiwai oleh sila 1, 2, dan meliputi dan menjiwai sila 4, 5
§  Kesatuan itu adalah kesatuan dari mahluk ciptaan Tuhan – semua agama/kepercayaan yang percaya pada Tuhan YME (sila 1)
§  Kesatuan itu haruslah kesatuan yang manusiawi (sila 2)
§  Kesatuan itu harus direalisasikan dalam kehidupan bernegara (sila 4)
§  Kesatuan itu harus bertujuan untuk mencapai keadilan/kemakmuran bersama (sila 5)
® Sila 4 diliputi dan dijiwai oleh sila 1, 2, 3 dan meliputi dan menjiwai sila 5
§  Rakyat Indonesia adalah rakyat yang percaya kepada Tuhan (sila 1)
§  Rakyat Indonesia adalah kumpulan manusia-manusia (sila 2)
§  Rakyat Indonesia haruslah bersatu (sila 3)
§  Rakyat Indonesia bersatu untuk meraih kemakmuran/keadilan (sila 5)
® Sila 5 diliputi dan dijiwai oleh sila 1, 2, 3, 4
§  Keadilan itu merupakan sikap-sikap
§  Adil kepada Tuhan (sila 1)
§  Adil kepada diri sendiri
§  Adil kepada orang lain (sila 2, 3,  4, 5)
§  Keadilan itu harus manusiawi (sila 2)
§  Keadilan itu harus berdasar/mempertimbangkan kesatuan (sila 3)
§  Keadilan itu harus berorientasi pada kepentingan rakyat (sila 4)
Sebagai sistem filsafat, Pancasila bersifat umum universal. Pancasila bersifat abstrak universal karena dirinya termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pokok-pokok kaidah negara yang fundamental (staatfundamentalnorm). Namun, Pancasila kemudian menjadi bersifat umum kolektif (berlaku bagi kolektif/masyarakat di Indonesia) karena menjiwai UUD 1945, TAP MPR. Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan berbagai peraturan lain. Dengan demikian Pancasila menjadi pedoman praktis bagi penyelenggaraan negara.

Tiga Fungsi Filsafat
Ada begitu banyak pengertian mengenai filsafat dan cara berfilsafat serta corak filsafat. Di depan sudah dikatakan bahwa filsafat itu berkembang dengan ”mempertanyakan”, ”interrogating”. Dalam kaitan dengan Pancasila, ada sedikitnya tiga fungsi filsafat, yang saling terkait satu dengan lainnya.
1)   Pertama, filsafat mempertanyakan dan mencari ”dasar”. Sejak awal filsafat Yunani telah dipertanyakan apakah ”dasar” dari dunia kita, apakah ”dasar” dari perubahan, apakah ”dasar” dari persamaan dan perbedaan manusia, apakah ”dasar” dari kebebasan manusia, apakah ”dasar” dari kehidupan suatu ”polis”?
2)   Kedua, filsafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari realitas di sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia. Seringkali dikatakan bahwa filsafat mempertanyakan nilai dari suatu realitas dan tindakan manusia. Maka filsafat dapat mencerahi kehidupan manusia.
3)  Kedua, filsafat berfungsi pula sebagai kritik ideologi. Filsafat berusaha untuk membuka selubung dari berbagai sistem pemikiran, yang membelenggu manusia, terutama kebebasannya. Pengetahuan dan kekuasaan saling berpautan. Marx telah memberi contoh bagaimana melakukan suatu kritik ideologi terhadap ideologi kapitalis.
Dari  uraian di atas, Filsafat Pancasila dapat dilihat pertama, sebagai eksplisitasi secara filosofis Pancasila sebagai dasar negara; kedua, filsafat Pancasila sebagai etika politik; ketiga, filsafat Pancasila sebagai kritik ideologi, termasuk kritik terhadap distorsi dan penyalahgunaan Pancasila secara ideologis.
Fungsi filsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan menjawab ”apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangatlah tepat pertanyaan yang diajukan oleh Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa ”Negara Indonesia yang akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno menafsirkan pertanyaan itu sebagai berikut: ”Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahsa Belanda: ’philosophische grondslag’ dari pada Indonesia Merdeka.  Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka[1].
”Dasar Negara” dapat disebut pula ”ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta: ”Pembukaan UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai Ideologi negara, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tatanegara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik negara dan perundang-undangan negara, supaya terdapat Indonesia merdeka seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”[2]
Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, ”ideologi negara”, yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu ”doktrin” yang lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau suatu dasar rasional, yang merupakan hasil konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang negara dan bangsa yang akan dibangun.

Pancasila sebagai Dasar Negara
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1.         Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.         Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.         Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4.         Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.         Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

Pancasila sebagai dasar etika politik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengeksplesitkan nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas Pancasila.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong warga negara untuk berperilaku etis dalam politik. Apabila nilai-nilai Pancasila ini dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat, maka akan menjadi pandangan hidup atau Weltanschauung.

Pancasila Sebagai Acuan Kritik Ideologi
Agnes Heller membedakan ”yang politik” dengan ”politik” (politics). Istilah ”yang politik” menunjukkan domain, atau lingkup dimana deliberasi terjadi, sedangkan istilah ”politik” (politics), merujuk kepada aktivitas yang terjadi dalam lingkup itu.[3] Ini mempunyai implikasi pada masalah sejauh mana ’ruang lingkup politik’, apakah batas kekuasaan politik? Siapa memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan politik itu? Isu-isu apa yang relevan bagi politik? Kalau dalam masa Yunani kuno ”yang sosial” dan ”yang politik” terjadi tumpang tindih, sementara dalam modernitas hal itu tidak terjadi.
Para ”founding fathers” sejak awal telah melakukan suatu ”kritik ideologi”, meskipun pada jaman itu model alternatif terhadap ideologi-ideologi besar (liberalisme dan sosialisme) masih terbatas. Ada dua tradisi mengenai konsepsi ”yang sosial” dan ”yang politik” dan interaksi antara keduanya.
Politik di dalam demokrasi liberal kapitalis didasarkan pada premis konsepsi mengenai individu sebagai unit utama moral dan politik. Karenaya hak dan kebebasan didefinisikan lebih dalam kerangka individual. Hak-hak ini memberikan prioritas kepada kepentingan pribadi individual di atas kepentingan umum. Asumsinya ialah bahwa individu dengan usahanya sendiri dapat memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu banyak intervensi dari negara. Namun dengan berkembangnya demokrasi dan kewarganegaraan, model liberal dianggap tidak memadai.
Kritik terhdap ideologi demikian pada abad ke 19 dilontarkan oleh Marx, yang menyatakan bahwa kewarganegaraan modern lebih menguntungkan individu dari kelas borjuis. Pada abad ke 20 negara-negara modern telah menyesuaikan diri dengan kritik ini dengan memperluas ”hak-hak sosial” pada kesehatan, kesejahteraan dan jaminan sosial. Namun negara haruslah berintervensi dalam ekonomi dan masyarakat, lebih dari masa sebelumnya.[4] Dengan demikian ”yang politik” lebih masuk ke dalam ”yang sosial”. Nilah salah satu makna ”akhir dari ideologi”, seperti dikemukakan oleh Daniel Bell. Tak ada lagi ideologi yang murni, melulu ”liberal” atau melulu ”sosialis”. Pancasila dan UUD 1945 mencari keseimbangan dan perpaduan antara keduanya.
Dinamika Pancasila terletak dalam ketegangan antara ”ideologi” dan ”utopia”. Pancasila sebagai ideologi memberi arah pembangunan sistem soasial dan politk. Sistem yang dibangun tidak pernah merupakan perwujudan utuh dari Pancasila, maka selalu bisa dikritik.
Bisa terjadi juga Pancasila sebagai ”ideologi” membenarkan dan meneguhkan sistem yang dibangun untuk kepentinan kelompok tertentu, sehingga menjadi mandeg. Maka atas dasar Pancasila itu pula dapat dilakukan kritik. Mungkin dapat dikatakan dari perspektif ini Pancasila merupakan ”utopia”. Utopia dapat bersifat ”subversif”, menggoncangkan sistem-sistem yang dibangun berdasarkan orientasi ideologi. Utopia dapat menciptakan kreatifitas dengan imajinasi sosialnya.
Sebagai kesimpulan, Pancasila dapat dikembangkan menjadi filsafat dalam tiga arah:
1)   Sebagai ”Filsafat Pancasila”, yang merupakan refleksi kritis atas dasar hidup bernegara
2)   Sebagai ”Etika Politik” yang merupakan refleksi kritis atas nilai-nilai etis yang terkandung dalam Pancasila
3)   Sebagai ”Kritik Ideologi” yang merupakan refleksi kritis dalam mengevaluasi berbagai ideologi lainnya.



B.        Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
  1. Masa Awal Kemerdekaan
Dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 oleh PPKI merupakan modal berharga bagi terselenggaranya roda pemerintahan Negara RI. Paling tidak, bangsa Indonesia telah  memiliki ketentuan – ketentuan yang pasti dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara. Namun, sebelum semua alat perlengkapan Negara tersusun, bangsa Indonesia dihadapkan persoalan eksternal yaitu kehadiran tentara Sekutu dan NICA ke wilayah Indonesia.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun bangsa Indonesia terpaksa harus menerima berdirinya Negara yang tidak sesuai dengan cita –cita proklamasi 17 agustus 1945 dan tidak sesuai dengan kehendak UUD 1945. Negara kesatuan republik Indonesia berubah menjadi Negara Indonesia serikat (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan konstitusi RIS.
Sejarah singkat
Setelah ditetapkan oleh PPKI  tanggal 18 Agustus 1945, dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Dasar 1945 mengalami masa berlaku dalam dua kurun waktu yaitu :
1.       Kurun pertama sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
2.       Kurun waktu kedua sejak tanggal 5 Juli 1959 (Dekrit Presiden) sampai sekarang dan ini terbagi lagi menjadi ketiga masa yaitu : Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi.
Sedangkan antara akhir tahun 1949 sampai dengan tahun 1959 berlaku Konstitusi RIS dan UUDS 1945. Dalam kurun waktu pertama tersebut sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena pada masa tersebut seluruh potensi bangsa dan negara sedang tercurahkan kepada upaya untuk membela dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dimana kondisi pemerintah sedang diwarnai gejolak politik dan keamanan. Gejolak tersebut diantaranya terjadi pemberontakan dimana- mana, dan terjadi agresi Belanda kedua.
Pada pelaksanaan UUD 1945 kurun waktu diatas mengenai kelembagaan negara seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 belum dapat dibentuk sebagaimana mestinya, sehingga sistem pemerintahanya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk sesuai dengan ketentuan pasal IV aturan peralihan, sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Berdasarkan ketentuan tersebut Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar.
Penyimpangan konstitusional yang sangat prisipil yang terjadi dalam kurun waktu ini adalah perubahan Sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tanggal 11 November 1945 kemudian disetujui Presiden diumumkan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 isinya mengenai sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Sejak saat ini kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet. Perdana Menteri dan para menteri baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada BPKNIP yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 jelas merupakan penyimpangan dari ketentuan UUD 1945. Penyimpangan ini sangat mempengaruhi stabilitas politik maupun pemerintahan, dalam kondisi seperti ini kemudian berdiri Negara RIS, dimana Negara Indonesia merupakan bagian dari Negara RIS tersebut, secara de facto Negara RI memiliki kekuasaan hanya sebagian pulau Jawa dan Sumatera, pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Negara federal RIS tidak bertahan lama mulai tanggal 17 Agustus 1950 susunan negara federal RIS berubah menjadi susunan Negara Kesatuan RI. Tetapi menggunakan Undang-Undang Dasar yang lain yaitu menggunakan UUD Sementara 1950, menurut UUDS  sistem pemerintahan yang dianut adalah parlementer bukan sistem pemerintahan Presidensial, pertanggungjawaban para menteri itu juga kepada parlemen yaitu DPR. Kedudukan Presiden tidak dapat diganggu gugat. Landasan pemikiran sistem pemerintahan itu didasarkan kepada Demokrasi Liberal yang dianut oleh negara-negara barat sedangkan sistem Presidensial berpijak pada landasan Demokrasi Pancasila yang berintikan kerakyatan dan Presiden bertanggung jawab kepada MPR.
UUD 1945 merupakan hukum dasar terpilih yang  bersifat mengikat bagi pemerintah, lembaga negara, lembaga masyarakat dan setiap warga negra Indonesia, sehingga semua produk hukum seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, serta kebijaksanaan Pemerintah harus selalu berdasarkan dan bersumber kepada norma, aturan dan ketentuan yang diberlakukan oleh UUD 1945 disamping hukum dasar yang tertulis terdapat juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara yang disebut Konvensi, dimana dalam pelaksannanya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Sejak dikeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang disebabkan oleh tidak terjaminnya stabilitas politik, keamanan maupun ekonomi, Konstituante (hasil Pemilu 1955) yang mempunyai tugas untuk membuat UUD pengganti UUDS 1950 gagal menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengandung beberapa diktum yang sangat penting, yaitu :
a.      Menetapkan pembubaran konstituante.
b.      Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi.
c.      Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan serta DPA sementara akan diselenggarakan sidang sesingkat - singkatnya.

  1. Masa Orde Lama
Orde lama merupakan konsep yang biasa dipergunakan untuk menyebut suatu periode pemerintahan yang ditandai dengan berbagai penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Kegagalan konstituante dalam merumuskan undang – undang dasar baru dan ketidakmampuan menembus jalan buntu untuk kembali ke UUD 1945, telah mendorong Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli mengeluarkan “Dekrit Presiden”. Tindak lanjut dari dekrit presiden tanggal 5 juli 1959 adalah pembentukn cabinet baru yang diberi nama Kabinet Karya. Dalam prakteknya (atau masa Orde Lama), lembaga – lembaga Negara yang ada belum dibentuk berdasarkan UUD 1945 sehingga sifatnya masih sementara dan fungsinya lembaga-lembaga tersebut juga masih belum sesuai dengan UUD 1945 misalnya:
1.      Presiden telah mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang Undang (dengan persetujuan DPR) dalam bentuk penetapan Presiden tanpa persetujuan DPR.
2.      MPRS melalui ketetapan MPR No. II/MPR/1963 mengangkat Presiden Soekarno seumur hidup disini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan masa jabatan Presiden 5 tahun dan sesudahnya dipilih kembali.
3.      Hak budjet DPR tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR. Bahkan pada tahun 1960, karena DPR tidak menyetujui RAPBN yang diajukan oleh pemerintah maka, Presiden lalu membubarkan DPR.
4.      Kekuasaan peradilan menjadi tidak bebas campur tangan pemerintah hal ini terlihat dalam Undang-Undang No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dimana pasal 19 menyatakan bahwa Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal peradilan.
. Dalam masa ini, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislative (bersama–sama dengan DPRGR) telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya.
Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 terus berlangsung. Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup jelas bertentangan dengan UUD 1945. Pendek kata, periode pemerintahan antara tahun 1959-1965 ditandai oleh berbagai penyelewengan wewenang dan penyimpangan tarhadap pancasila dan UUD 1945 sehingga disebut sebagai masa orde lama. Hampir semua kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah sangat menguntungkan PKI. Beberapa akibat kasus penyimpangan UUD 1945 tersebut membawa buruknya keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan dibidang ekonomi. Keadaan demikian mencapai puncaknya pada pemberontakan G 30 S PKI yang gagal pada tahun 1965.

  1. Masa Orde Baru
Orde baru merupakan konsep yang dipergunakan untuk menyebut suatu kurun waktu pemerintahan yang ditandai dengan keinginan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena telah terbukti bahwa pemberontakan G 30 S yang didalangi oleh PKI maka rakyat menghendaki dan menuntut PKI dibubarkan. Namun pada waktu itu pimpinan negara tidak mau memenuhi tuntutan rakyat sehingga timbul "situasi konflik "antara rakyat satu pihak dan Presiden dilain pihak. Keadaan dibidang politik, ekonomi, dan keamanan semakin tidak terkendali, oleh karena itu rakyat dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa menyampaikan tuntutannya yaitu Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yaitu:
1.  Bubarkan PKI.
2.  Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI.
3.  Turunkan harga-harga / perbaikan ekonomi.
Gerakan TRITURA semakin meningkat sehingga Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 kepada Letnan Jenderal TNI Soeharto, dengan lahirnya SUPERSEMAR oleh rakyat dianggap sebagai lahirnya Orde Baru. Dengan berlandaskan pada Surat Perintah 11 Maret 1966, pengemban SUPERSEMAR pada tanggal 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan ormas-ormasnya jadi dengan demikian tanggal 19 Maret 1966 dinyatakan sebagai titik awal Orde baru. Dalam masa ini telah dapat berhasil melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal pembentukan lembaga-lembaga Negara dan lain-lain, namun perkembangan lebih lanjut Orde Baru didalam melaksanakan kekuasaan negara/pemerintah, sejalan dengan proses yang dihadapi ternyata terjadi penyimpangan-penyimpangan yang terlihat kepada pelaksanaan kekuasaan pemerintah mengarah otoriter. Dari pemerintah otoriter ini muncul terjadinya konflik horisontal maupun vertikal yang diakhiri oleh lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998, kemudian beralih kepada Pemerintah beraliran Reformasi.

  1. Masa Reformasi
UUD 1945 pada masa era globalisasi yang ditandai oleh reformasi berawal dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN kemudian disusul oleh Tap-Tap MPR yang lain. Dari segi pengembangan hukum terlihat pada Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan. Sejak adanya perubahan / amandemen UUD 1945 yang pertama tersirat materi muatan konstitusi hanya diatur dalam UUD 1945 kemudian amandemen tersebut sampai perubahan keempat, secara lengkap proses amandemen pasal-pasal dimaksud dapat diperhatikan pada lampiran. Di dalam era reformasi ini Pancasila tetap dipertahankan sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai idiologi nasional yang merupakan cita-cita dari tujuan negara. Di dalam pengembangan lebih lanjut bahwa Pancasila sebagai paradigma yaitu merupakan pola pikir atau kerangka berpikir, disini menunjukkan bahwa pembukaan UUD 1945 memiliki peranan penting yang menjadi satu kesatuan bersama UUD 1945. Menyangkut perubahan/amandemen UUD 1945 dimaksud diantaranya adalah untuk menghadapi perkembangan yang begitu cepat terjadi di dunia ini.
Beberapa persoalan menarik yang perlu dikaji sehubungan dengan gerakan reformasi, diantaranya Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 195 sebagai landasan Konstitusional, serta seluruh peraturan perundang – undangan yang berlaku. Namun demikian, beberapa persoalan yang segera ditata sesuai dengan cita – cita reformasi, diantaranya menata hubungan tata kerja antara Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Yaitu mengembalikan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sehingga tugas – tugas kenegaraan dapat berjalan dengan lebih baik. Dengan demikian, dengan ada tidak adanya amandemen bukanlah jaminan bagi terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa di samping itu kenyataannya menunjukkan bahwa sebagai bangsa yang mengaku memiliki sikap jujur, kesatria, dan terbuka belum mampu merealisasikan sikap itu dalam kehidupan nyata. Jika sikap ini dapat di kedepankan maka segala persoalan yang di hadapi bangsa Indonesia dapat dipecahkan tanpa menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu, jauhkan sikap emosional dan kedepankan sikap rasional, logis, dan kritis dalam memecahkan segala persoalan yang sedang dihadapi. Kesemuanya itu merupakan konsekuensi logis dari dinamika pelaksanaan UUD 1945. artinya, UUD 1945 tidak harus dilaksanakan secara kaku, tetapi secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan Perkembangan masyarakat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar